Rabu, Desember 17, 2008

They Paved Paradise And Put Up A Parking Lot

Kompetisi Website Kompas MuDA - IM3
www.mudaers.com

They paved paradise and put up a parking lot
With a pink hotel, a boutique, and a swingin' hot spot
Don't it always seem to go
That you don't know what you got 'til it's gone
They paved paradise and put up a parking lot
...

Kayaknya cuilan lirik lagu jadul tadi rada-rada menggelitik kuping saya. Saya juga enggak tau, liriknya yang unik atau malah kuping saya yang kotor gara-gara belom saya bersihin. Lagu tadi udah menemani malam-malam saya yang sepi tanpa bakul wedang ronde, hiks. Enggak tau kenapa juga, lagu tadi bikin saya inget sama berita belom lama ini. Menurut sumber yang dapat dipercaya, yang tak lain dan tak bukan adalah tivi, kota Roma sama Venesia kebanjiran gara-gara air lautnya luber. "Tertohok" daku dengarkan itu punya berita. Tapi puji Tuhan deh, bukan cuman Jakarta aja yang kebanjiran.

"Enggak ada resapan sih, jadinya yaa airnya kemana-mana. Pohonnya pada abis sih, ditebangin", timpal si Mami lagi. Enggak jelas.

Cerocosan si Mami yang enggak tadi bikin saya dikit-dikit nyadar. Mungkin anugerah Tuhan yang kita tinggalin ini kayak-kayaknya udah enggan ditinggali sama spesies serakah yang namanya "Homo sapiens" itu. Alam udah enggak bersahabat lagi sama kita. Semua karena sahabatnya yang selama ini Ia cintai berbalik dan menikam Ia dari depan. Yang selama ini Ia hidupi dan lindungi berbalik 180 derajat dan membalas susu yang Ia berikan dengan air tuba. Waduh, kok saya jadi ngelantur yaa.....

Back 2 ngelantur. Kata embah saya sih, "Menungsa iku murka malek, tutuke kebak panganan nanging isih diiseni bae." (Manusia itu serakah, mulutnya masih penuh makanan tapi masih diisi saja). Udah adat dari sononya kali, dan itu enggak mungkin kita pungkiri. Contone, seringkali kita minta tambah makan bukan karena laper tapi karena ingin. Nah, "ingin" ini apakah menjadikan kita jadi "nafsu"? Saya sering begitu kok. Kalo kamu?

Mungkin kalo kita kenang, masalah-masalah lingkungan yang ada sekarang ini sebenernya kalo dipikir-pikir yaa akar masalahnya enggak jauh-jauh dari yang namanya manusia. Mulai dari lubang ozon, global warming, bencana tsunami di Aceh, banjir bandang di Jakarta, kekeringan di Nusa Tenggara, sampe masalah lumpur Lapindo. Pangkal masalahnya juga enggak "ribet-ribet amat". Pangkal masalahnya juga enggak "ribet-ribet amat". Nah, yang enggak "ribet-ribet amat" kok bisa jadi masalah? Saya juga enggak tau.

Life is simple. Urip iki ora njlimet-njlimet. Hidup ini enggak susah-susah amat.

Kalo aja bakau di pantai masih bagus, mungkin korban tsunami Aceh enggak mungkin sebanyak itu, Muara Karang, Semarang dan kota-kota pesisir lainnya juga enggak bakal kebanjiran, dan pastinya tingkat abrasi dan banjir akibat rob bisa diatasi dengan mudah.

Kalo aja banjir kanal, hutan yang rimbun, dan sawah nan ijo royo-royo enggak disulap jadi perumahan, mungkin banjir bukan jadi tradisi tahunan di Jakarta dan daerah-daerah tiap kali ada ujan.

Kalo aja petani enggak usah pake pestisida, mungkin kerlipan genit kunang-kunang, nyanyian kintel (kodok yang ada di dalam potongan bambu atau di balik tempurung kelapa), desir jangkrik, dan suara gangsir (anjing tanah/ antlion) udah bisa saya nikmati tiap malem.

Tapi itu semua udah terjadi, dan kita semua cuman bisa nyesel.

Hometown saya Purwokerto? Lama-lama udah enggak senyaman dulu lagi. Waktu saya baru pindah ke Purwokerto, kalo berangkat sekolah jam setengah tujuh saya masih bisa merasakan sejuknya udara pagi dan embun yang membasahi daun-daun. Jalanan pun masih sering berkabut kala pagi hari. Waktu kelas empat esde, trek tanah buat bersepeda gila masih mudah ditemukan sama saya dan temen-temen saya yang sama sarapnya. Dan kami masih bisa menertawai pengendara motor yang nyemplung sak motor-motore ke dalam blumbang (kolam ikan). Ular sanca juga masih bisa kami temui di sawah kalo kami lagi mblangsak-mblangsak.

But now? Buka jendela kamar saya yang bau apek itu jam enam pagi aja udara udah terasa anget. Belom lagi kalo berangkat sekolah naik motor dan kaca helmnya enggak diturunin, debu jalanan pada lengket di muka, dan muka saya yang enggak bisa dibilang ganteng ini jadi serasa pake topeng Power Ranger. Kalo pulang sekolah panasnya minta ampun.

Jalan yang cukup gede yang pohonnya rimbun cuman tersisa satu di Purwokerto. Pohon-pohon di sekolah saya pun jumlahnya enggak sebanyak dulu lagi. Pohon beringin besar di alun-alun sekarang bisa dihitung dengan jari. Jari manusia tentunya.

Blumbang dan sawah tempat kami biasa main sekarang udah ilang dan disulap jadi rumah sempit-sempit yang berderet-deret. Ular yang kami temui pun mungkin udah berakhir di piring dan beralih peran sebagai salah satu mata rantai makanan berupa rica-rica. Komplit dah.

Kalo saya pergi ke rumah embah saya pas musim panen ato tanam, di jalan banyak bergelimpangan mayat-mayat penyanyi tak berdosa, yang tak lain dan tak bukan merupakan bangkai-bangkai para kodok. Kadang-kadang ada juga bangkai ular. Mereka mati terlindas mobil ato truk yang lewat. Ini bisa jadi faktor yang merusak rantai makanan dan berkembang pesatnya hama tanaman.

Perkembangan jaman menuntut kita mau enggak mau jadi "kejam". Sadar atau enggak setiap hari kita menyakiti anugerah Tuhan yang namanya Bumi ini. Mulai dari AC, spray aerosol, dan kulkas antik yang masih betah pake freon. Kita yang adem ayem buang-buang kertas. Asap dari rokok, knalpot dan industri. Limbah yang susah terurai. Kebiasaan bakar sampah. Juga kebiasaan buang sampah sembarangan.

Budaya pun ikut bergeser. Keindahan dilihat dari kacamata pengembang perumahan yang melihat keindahan semata-mata untuk cari untung. Indah itu bukan lagi birunya langit, bukan lagi hijaunya hamparan sawah dan hutan, bukan lagi laut yang biru jernih dan bersih. Indah sekarang jadi arsitektur gaya postmodern, mediterranian, atau bohemian, atau juga skyscraper dengan tinggi yang fantastis. Sadar enggak sadar, hutan beton sekarang mengungkung kita. Habitat manusia 100% terbuat dari campuran semen, kerikil dan pasir. Hati kita pun jadi ikut-ikutan keras kayak beton. Sama masifnya dengan apa yang kita bangun.

Paradises just have been paved and replaced by parking lots. Nilai estetis sekarang dikawinkan dengan nilai-nilai kepraktisan dan beranak pragmatisme. Waduh, ngelantur lagi.....

There's no time for moaning. Just don't stick around! Siramin dan rawat pohon di sekitar rumahmu! Jangan malah ditempeli dan dipaku buat masang iklan caleg! Kalo mati dan tumbang, toh kita juga yang susah.

Irit pake kertas. Selain berhemat karena gak buang-buang duit, secarik kertas yang kamu punya dibuat dengan mengorbankan hidup sebatang pohon. Kalo ada space yang cukup, usahain nanem pohon yang rada gede. Paling enggak tingginya 2 meter lah! Jangan nanem tauge!

Perkecil penggunaan semen dan paving di rumah kamu. Semen sangat-sangat menghambat penyerapan air dan mempermudah tanah untuk bergeser. Sekuat apapun pondasi rumah kamu, tanpa pijakan yang stabil, pasti rumah bakal runtuh juga. Solusi praktisnya? Biopori. Kalo kamu ngerasa rumah kamu berdebu ato ngeliat adanya gundukan tanah kering di sekitar rumah kamu, itu berarti tanah di sekitarmu kehausan dan butuh resapan cepat.

Jangan pipis sembarangan! Itu ngerusak kualitas air kali dan air tanah tempat kamu pipis. Pipis ya di WC aja. Jangan pake AC kalo pake mobil. Terik matahari di jalan tol yang macet enggak jauh beda kok sama di Honolulu. Bomber graffiti pake cat tembok aja, selain murah, relatif ramah lingkungan, juga menuntut skill yang lebih dari para bomber. Buat hairspray addict, apalagi yang doyan sasakan rambut setinggi Gunung Semeru, stop aja deh. Bisa kan rambutnya rada acak-acakan? Kan masih ada sisir.

Kalo langkah di atas sulit, coba aja terus! Jadi sahabat buat Bumi emang sulit, tapi bukan berarti enggak mungkin kan? Kita enggak mau kan kalo generasi penerus kita enggak bisa nggambar pemandangan pedesaan nan asri dengan hamparan sawah dan gunungnya yang menjulang? Lakukan dari yang paling berpengaruh buat kamu, mulai dari yang ada di deket kamu, dan mulai dari sekarang.



















Just remember pal, satu perubahan baik hari ini jutaan kali lebih baik daripada triliunan diskusi ilmiah dan ceramah agama.

3 komentar:

  1. nus, help me to do something with my blog. it's very parah-e pol. i have a great excitement about blog, tapi seringkali terbntur mslah teknis. for example, ketika lg berhasrat pengin nulis, tau2 "ashari,km blm ulangn. besok y"
    ceter!!!
    nus, help me lah. at least caranya ngedit blog....

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. @ Mas Badak Boeloek

    Terimakasih atas pujiannya....
    Emmm gimana yach... gini, mungkin karena Mas Badak belum terbiasa aja kale :)

    Aku aslinya orang cirebon yang selalu merantau. Bagiku merantau dapat memperluas wawasan.
    Dan sekarang sedang belajar di Yogyakarta UIN Sunan kalijaga Yogyakarta.

    Info tentang aku dapat di klik pada bagian sidebar kiri atas bawah poto :)
    atau klki di SINI

    Soal semangka silakan ambil kode HTML di situs penyedia tersebut di alamat klik di SINI

    Terimakasih atas kunjungannya ....


    @Jawaban ke 2
    Terimakasih...

    Ada loh yang kurang apa coba??
    alamat! Yup benar sekali.
    Di dunia maya aku ga berani tunjukan no. Hp alamat dan E-mail. Alasannya mudah sekali, karena riskan sekali disalahgunakan ......

    BalasHapus

tinggalkan komen di sini

apapun yang kamu tinggalkan

bisa jadi sumber inspirasi baru buat saya