Kamis, Oktober 09, 2008

Mudik : Indikator Ketulusan Penguasa Kita

Mudik
Hasil Budaya Proyek Setengah Hati

Mudik.
Eksodus gede-gedean pas mau nyambut Lebaran. Mau Muslim ato bukan, mau ngerayain ato nggak, nggak ada yang peduli yang penting pulang kampung ketemu famili. Mau gimana lagi, liburan yang cukup lama di Indonesia cuma happened pas mau Lebaran aja. Tiap tahun pasti ada acara mudik di Indonesia. Yuph, cuma ada satu-satunya di Indonesia. Nggak ada di negara lain, kalo nggak percaya buktiin aja sendiri. Yang ada di kota pada rame-rame pulang ke kampung.
Arus urbanisasi stop sementara waktu. Pendatang di kota-kota besar pada pulang kampung ke tanah kelahiran mereka masing-masing. Cara apapun dilakoni demi ketemu sama sanak famili yang udah nungguin kepulangan setaun sekali. Caranya pun banyak, lewat mana aja bisa. Mau lewat darat udah umum, pake kendaraan pribadi, umum, juga pake kereta. Mau lewat laut bisa aja, lewat udara apalagi.
Mudik.
Banyak untungnya banyak juga ruginya, banyak indahnya banyak juga cacatnya. Banyak yang seneng bisa ketemu sama keluarga yang udah lama nggak keliatan. Banyak juga yang kecewa nggak bisa mudik ato malah jadi korban pas lagi mudik. Anehnya, pemudik mau ngelakuin apa aja asal sampe ke kampung. Cara apapun dilakoni. Banyak juga yang berkorban nggak sedikit asal bisa mudik. Di balik eforia dan antusiasme masyarakat yang mudik, keliatannya para penguasa kita masih setengah hati nyikapin nih masalah.
Rute-rute yang mudik cukup kita kenal di antaranya jalur Pantura, Jawa Selatan, Jalan Lintas Sumatra, Selat Sunda, Selat Madura, sama Selat Bali. Kalo Ramadhan udah di depan mata, para penguasa kita sibuk ngurusin mudik. Anehnya mereka kayak kebakaran jenggot. Jalan yang bolong di sana-sini pada ditambal, mau rapi ato nggak yang penting nggak bolong. Alhasil, jalan jadi pada bergelombang dan makin sulit ngendarain di jalan yang nyembul di mana-mana. Hasil tambalannya juga cepet banget ancurnya, pas arus balik selesai tambalannya udah pada mulai ngelupas.
Namanya aja tambalan. Parahnya kalo tambalannya ancur pasti ngangkat lapisan jalan yang asli, jadi lobangnya malah jadi tambah parah. Keadaan yang begini ini dibikin lebih parah sama kendaraan yang overweight. Jalan kita jadi banyak yang nggak seindah dulu lagi.
Kendaraan yang overweight ini nggak lain adalah akibat dari oknum-oknum aparat yang nggak beres kerjaannya. Kendaraan yang udah sarat muatan dilepasin aja tanpa pake aturan yang berlaku. Ujian KIR (data kendaraan muat & angkutan umum yang dicat di bagian samping kendaraan) juga harus bayar, aslinya gratis. Mau keadaannya kayak apa juga harus bayar, kalo nggak bayar nggak dikasih lulus uji KIR. Supir kendaraannya juga diperes sama oknumnya, kalo nggak mau bayar yaa nggak jalan.
Mau nggak mau si supir sama pengusaha bayar aja daripada ntar usaha mereka nggak jalan. Nggak brenti di situ aja, di jalan tertentu banyak oknum DLLAJ sama Polisi yang malak ato istilah kerennya pungli. Pungli di sini nama lainnya adalah "ngemel". Tiap 1 sampe 2 km pasti ada oknum aparat yang mintain duit. Gedenya macem macem, mulai dari seribu perak sampe lima puluh ribu (itu yang umum). Duit tinggal dilemparin lewat jendela, ntar ada oknum yang nangkep. Ato juga kendaraan distop buat dimintain duitnya. Alasannya macem-macem dan rata-rata nggak masuk akal.
Padahal kendaraan yang overweight begini ini berbahaya buat pengendara, muatan, sama pengguna jalan lainnya. Udah ngendaliinnya susah, muatannya banyak yang rusak, juga bisa bikin kecelakaan yang nggak main-main. Masih inget sama alm. Taufik Savalas kan? Itu salah satu contoh konkret dari sistem yang nggak beres ini. Mobilnya tabrakan sama truk semen yang overweight. Alhasil, banyak nyawa yang nggak berdosa melayang.
Perbaikan jalan juga nggak pernah serius. Jalan yang lubang cuman ditambal, paling bagus juga dilapisin sama aspal yang baru ato diganti sama jalan beton. Idealnya, paling nggak 50% lapisan jalan yang ada diangkat dan diganti sama lapisan jalan yang baru. Hasilnya pasti bisa maksimal soalnya kualitas jalan hampir jadi kayak jalan baru lagi. Di beberapa jalur, penerangan juga minim. Hasilnya kejahatan tumbuh subur di daerah beginian. Fasilitas terpusat di bagian-bagian yang rame n paling sering macet aja sedangkan yang lainnya hampir nggak tersentuh.
Pelayanan di stasiun, terminal, sama pelabuhan juga masih dirasa kurang banget. Kalo ngeliat kereta ekonomi, banyak yang dempet-dempetan di gerbong, naik di sambungan kereta, ato malah duduk di lokomotif. Nggak sedikit juga yang mati lemes di kereta. Minimnya gerbong yang ada diperparah sama penggunaan gerbong yang vital buat ngangkut motor. Banyak juga yang merangsak naik kapal meski udah sarat penumpang.
Proyek penguasa keliatannya masih dijalankan dengan setengah hati. Itu aja nunggu kalo mau mulai mudik ato kunjungan dari negara lain, baru dibetulin. Nggak ada niat yang tulus buat memperbaiki keadaan dan sistem yang ada. Padahal sistem itu memegang hampir separuh dari hasil yang ada nantinya. Kalo sistemnya udah bener dan dijalanin dengan bener sama semua pihak udah pasti hasilnya nggak mungkin jauh dari maksimal.
Perbaikan sistem dan aparat serta pemberdayaan masyarakat sebagai subjek sistem sekarang jadi kebutuhan primer yang nggak bisa ditawar-tawar. Kalo bikin sistem yang lumayan beres aja nggak bisa, jangan harap deh penguasa bisa mengabulkan cita-cita Bangsa Indonesia yang ada di UUD '45.
Pembangunan yang ada jadi terasa terpenggal-penggal jadi satuan-satuan kecil yang sporadis dan rata-rata cuma ada di kota-kota besar. Liat aja proyek mercusuarnya Pemda Jatim dengan Jembatan Suramadu-nya ato proyek gigantis Pemda DKI Jakarta dengan Monorail yang nggak ada kelanjutannya yang jelas lagi sebagai warisan dari Sang Bapak Sutiyoso yang cuma ada tiang pancangnya doang di tengah jalan yang bikin macet jadi tambah parah.
Penguasa kita terlalu memanjakan investor-investor asing yang menanamkan modalnya di indonesia. Para Penguasa takut kalo investor asing itu nantinya cabut dari Indonesia dan nggak ngeliat potensi besar yang ada di dalam negeri yang siap untuk ditumbuhkembangkan.
Nggak ada masterplan pembangunan yang jelas dari penguasa kita. Ganti presiden yaa ganti pola dan ganti proyek pembangunan. Para penguasa kita harusnya mencontoh pemimpin-pemimpin negara maju yang punya masterplan dan sistem yang baik serta bisa meminimalisir pelanggaran oleh aparat.
Sebagai Rakyat Indonesia kita juga harus bisa bangkit sendiri dari keterpurukan tanpa menunggu bantuan dari penguasa. Mulai dari hal yang paling kecil, mulai di sekitar kita, dan mulai dari sekarang.
Dan pertanyaan terbesar gue sebagai rakyat Indonesia sekarang nggak lain dan nggak bukan yaitu :
Kapan sih rakyat Indonesia jadi tuan di negeri sendiri?

2 komentar:

  1. oknum DLLAJ sama Polisi yang malak
    Bener itu!!
    Sampe sekarang jadi "sawah" subur
    buat penghasilan mreka
    Jumlahnya gak kecil~

    BalasHapus
  2. Anoez keren lah!!!
    Mana, katanya blogKu mau di Link..
    Ditunggu!

    BalasHapus

tinggalkan komen di sini

apapun yang kamu tinggalkan

bisa jadi sumber inspirasi baru buat saya